Kamis, 03 November 2011

Resensi Buku "Pecalang, Benteng Terakhir Bali"


Hal pertama yang saya baca dari setiap judul bab buku ‘Pecalang, Benteng Terakhir Bali’ ini adalah sloka yang terdapat di dalamnya. Memberikan kesan bagi saya bahwa buku ini menekankan hubungan kita dengan Tuhan adalah mutlak, baik kita sebagai pecalang, pelajar, maupun masyarakat umum.
Buku ‘Pecalang, Benteng Terakhir Bali’ ini sangat perlu untuk diperbanyak di lingkungan masyarakat kita (Bali), manfaatnya sungguh luar biasa dalam rangka mengetahui dan memahami arti dan pentingnya pecalang bagi karma desa pekraman pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Di awali dengan pendahuluan yang menyadarkan kita bahwa Bali kita sebagai masyarakat asli sudah semakin direbut oleh orang-orang dan bangsa pendatang yang mencari kenikmatan dan kemewahan atas potensi pulau Bali.
Pada bab berikutnya disajikan sejarah pecalang sampai pada busana pecalang. Sejarah pecalang dimulai dengan kedatangan Rsi Markandeya dari India ke Bali yang membawa dampak tersendiri bagi terbentuknya pecalang sehubungan dengan misi Rsi Markandeya untuk menyebarkan ajaran Veda di Bali, namun sayangnya terbentuknya pecalang dengan tepat belum diketahui secara pasti.
Pengertian pecalang yang diuraikan dengan singkat dan jelas. Dari akar kata celang yang berarti tajam inderanya kata pecalang terbentuk. Uraian pada bab ini sangat menarik terutama pada bagian macam-macam pecalang, disana sekiranya perlu diberi pengertian secara jelas lagi agar masyarakat yang awam dengan istilah-istilah tersebut dapat mengerti dengan cepat.
Syarat-syarat pecalang yang diambil dari lontar purwadigama sudah cukup jelas dipaparkan, sehingga semakin jelas pengetahuan kita tentang siapa dan apa saja syarat yang diperlukan untuk menjadi seorang pecalang. Di dalam syarat pecalang ini saya temukan mengapa hanya orang yang sudah berumah tangga yang dapat menjadi pecalang.
Yang paling penting untuk diketahui orang yang akan menjadi pecalang ataupun masyarakat umum yang ingin mengetahui, ialah hak dan kewajiban pecalang. Agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam menentukan hak dan kewajiban bagi pecalang di setiap desa pakraman itu sendiri. Untuk bagian ini ada baiknya pada setiap hak maupun kewajiban diisi dengan contoh yang terjadi di masyarakat, agar tidak terkesan hanya teori, tetapi diisikan juga contoh-contohnya yang ada di masyarakat pada saat ini.
Hal yang terakhir yang menyangkut pecalang adalah busananya, sebagaimana disebutkan dalam awal bab, orang akan dihargai Karena busana yang dipakai, orang akan dihormati karena bijak ucapannya. Sangat tepat bagi semua pecalang untuk mempergunakan busana yang sudah tertuang dalam lontar-lontar, setidaknya jangan dimodivikasi terlalu banyak busana yang sudah ditetapkan tersebut. Contoh pada gambar pada halaman 61, seharusnya menurut saya pakaian atas adalah warna putih, bukan hitam atau setidaknya memakai baju safari.
Pecalang yang ideal bagi masyarakat adalah sesuai dengan apa yang sudah ada pada halaman 64 buku ini. Pada bagian terakhir ini, buku ‘Pecalang, Benteng Terakhir Bali’ yang membahas idealnya pecalang sangat singkat, saya setuju dengan hal bahwa pecalang dengan polisi harus saling bekerja sama.
Pada akhirnya, buku ini sangat bermanfaat dan perlu untuk ditingkatkan lagi.